Asal-Usul Syaikh Abdul Aziz
Syaikh Abdul Aziz merupakan keturunan dari keluarga keraton Yogyakarta yaitu putra dari Kyai Nur Yasin bin Tumenggung Gajah. Ia keluar dari keraton karena semangat ingin menggali dan mengembangkan ilmu agama. Kemudian ia melakukan pengembaraan yang pada akhirnya sampai di daerah Wonosobo.
Syaikh Abdul Aziz dilahirkan di Dusun Kalitulang, Desa Gondang, Kecamatan Watumalang, Wonosobo. Usianya kurang lebih 87 tahun dan memiliki empat orang istri. Yaitu dari daerah Tempuran, Pagude, Kalitulang, dan satunya putri dari Syaikh Abdul Hamid (Mbah Hadits) Karangsambo, Sapuran .
Taslimnya Kepada Syaikh Ahmad Rifa’i
Mengutip dari Catatan Sejarah Murid Pertama Syaikh Rifa’i oleh Ky. Sajuri Kalibening menerangkan pada waktu itu ada dua pemuda yang berasal dari Kalitulang bernama Amad ‘Arfani, dan satunya lagi berasal dari daerah Wonosobo bernama Amad Kardi yang menjadi upas (polisi) kabupaten Wonosobo.
Kedua pemuda tersebut pergi dari daerahnya dengan tujuan mencari guru yang ‘alim ‘adil dan mondok (mengaji) kepadanya. Ternyata pada akhirnya kok sampai di desa Kalisalak tepatnya di rumahnya upas (polisi) Kalisalak yang bernama Mas Cokroredjo. Kemudian menginap dirumahnya untuk beristirahat selama semalam. Rumah Mas Cokroredjo terletak bersebelahan dengan rumah Kyai Ahmad Rifa’i.
Singkat cerita kedua rekan tersebut ditanya oleh Mas Cokroredjo, “Si Adi sekalian ajeng sami dateng pundi, dene sareng-sareng ? (Adik-adik sekalian mau kemana, kok bersama-sama ? Red; Indonesia). kemudian jawabanya :“Ajeng mondok pados guru. Napa ngriki wonten guru sing ageng nggih kakang ?” (Mau nyantri/mengaji dan mencari guru, apakah di daerah sini ada guru yang besar ya kak ?). “Wonten, niku kilen kula geriyane. Nanging dereng gadah murid setunggal-tunggala, jalaran murid sing keriyin sami bubar. Sebabe niku kyaine jawak-jawaaken kitab arob, saha nyaine lan sakputra-putrane lan sak muride istri menawi medal sangking geriyane didawuhi ken kudungan, mulane muride sami bubar sedanten”. (Ya ada, itu rumahnya sebelah barat rumahku, tetapi belum mempunyai murid sama sekali. Kerena murid yang dahulu sudah kabur semua. Sebabnya, kyai tersebut menjawakan kitab-kitab arab. Dan juga istri dan murid-murid perempuanya dinasehati agar memakai kerudung. Makanya murid-muridnya kabur/bubar semua). Begitulah jawaban yang diutarakan Mas Cokroredjo.
Setelah mendapat keterangan demikian keesokan harinya kedua kawan tersebut pergi (sowan) kepada kyai. Kemudian berbicara di hadapan kyai : “Kula matur sampeyan kyai, lampah kawula sowan ing ngarsane kyai, kawula bade nderek nyuwita ing ngarsane kyai menawi panjenengan sudirapih dateng kawula. Utawi kawula badhe nyuwun pertikele bab agama”. (Saya mau berbicara denganmu kyai, kedatanganku kemari bertujuan untuk ikut ngabdi (nyuwita) kepadamu, jika Anda sudi dan berkenan. Adapun saya mau meminta/belajar ilmu tentang bab agama. “Nggih sahe”. (ya, itu baik), jawab kyai. Kemudian oleh kyai diajari syahadat beserta maknanya sampai i’lam weruho (ilmu tauhid/ushuluddin), juga diajari tentang air yang digunakan untuk bersuci sampai sampai syarat sah wudhu dan mandi, tentang tatacara takbir, fatihah, takhiyat, sholawat, dan salam (ilmu fiqih). Kemudian diberi kitab Khusnal Mitholab supaya dipelajari (dikaji).
Sesudah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan fardhu ‘ain dan mudhoyyi’ (sah iman sah ibadat) dirasa sudah terpenuhi dan cukup, kemudian kyai Amad ‘Arfani namanya diganti menjadi Muhammad Asy’ari. Sesudah pergi haji namanya diganti lagi menjadi Abdul Aziz Dan temannya yaitu Amad Kardi diganti namanya menjadi Abu Hasan. Kedua orang tersebut kemudian menjadi murid kanjeng Syaikh Ahmad Rifa’i cukup lama.
Saat masih mukim di pesantren Kalisalak, beliau menjumpai taslimnya beberapa murid Syaikh Ahmad Rifa’i yang berpengaruh dan berperan besar dalam membantu memperjuangkan penyebaran kitab tarajummah, diantaranya ialah Kyai Yasir Bugangan, Kyai Muhammad Tuban Kalibaru, Kyai Abdul Hadi Dalangan, Wonosobo, Kyai Abu Manshur Candi, Wonosobo, Kyai Hadits Karangsambo, Wonosobo, Kyai Maufuro Wonobodro, Batang, Kyai Ilham Kalipucang, Batang, Kyai Abdul Qohar Arjosari, Kendal, Kyai Tuba Purwosari, Kendal, Kyai Abdul Fatah Sekidang, Kyai Abu Darda Mataram, Yogyakarta, Kyai Hasan Thayyib Kalibening, Wonosobo, Kyai Muslim Paesan, Pekalongan, Kyai Idris Arjawinangun, Cirebon. Dan sewaktu Kyai Maufura taslim kepada Syaikh Ahmad Rifa’i, juga diikuti teman-temannya berjumlah 40 orang. Begitu juga Kyai Abu Darda’ membawa muridnya yang berjumlah 40 orang dan menginap di kediaman Syaikh Ahmad Rifa’i selama 40 hari dan semuanya juga ikut taslim. Bahkan pada waktu itu Syaikh Ahmad Rifa’i dalam memberikan suguhan tamunya (sebagai penghormatan) menghabiskan biaya 500 rupiah, dikarenakan cara beliau memberi suguhan layaknya cara keraton. Sebab Kyai Abu Darda ialah ulama’ keraton.
Namun menurut keterangan yang lain , Syaikh Abdul Aziz sebelum berguru dengan Syaikh Rifa’i pernah mondok di Kalitulang. Beliau merupakan orang yang gemar dengan ilmu kejadugan/kanuragan, mulanya beliau berguru dengan Syaikh Rifa’i di Kalisalak bertujuan untuk menambah ilmu kanuragannya tetapi Syaikh Rifa’i merupakan guru atau ulama’ ilmu tiga perkara (syariat, tariqat, haqiqat). Maka dari itu ia tidak diberi ilmu kejadugan akan tetapi diperintahkan membaca kitab Rukunan dan kitab Khusnul Mitholab. Kemudian beliau taslim kepada Syaikh Rifa’i dan berguru kepadanya selama beberapa tahun. Sesudah itu Syaikh Abdul Aziz yang dulunya bernama “Amad ‘Arfani” diganti oleh Syaikh Rifa’i menjadi “Muhammad Asy’ari”. Sesudah pergi haji namanya diganti lagi menjadi “Abdul Aziz”.
Menegakkan Ajaran Gurunya
Sesudah beberapa waktu menyenyam pendidikan di Kalisalak, Syaikh Abdul Aziz pulang kerumahnya di Desa Tempursari, Sapuran, Wonosobo dan bercerita kepada Mbah Hadist (Syaikh Abdul Hamid Karangsambo) panjang lebar perihal gurunya, yaitu Syaikh Ahmad Rifa’i.
Syaikh Abdul Aziz menikah dengan putri Mbah Hadist yaitu adiknya Mbah Busyro dan bermukim di Kebon Klilin (terletak di sebelah barat kampung Klilin, Desa Tempursari) dan mempunyai banyak murid yang dari daerah sekitar, namun kebanyakan murid-murid yang nyantri kepadanya itu tidak menginap (nglaju ; jawa).
Syaikh Abdul Aziz merupakan seorang yang berprinsip tegas dan keras dalam menyampaikan atau menegakkan ilmu Allah bahkan kalau ada yang ngeyel atau menyangkal maka ia langsung di keplak. Sehingga jarang ada orang yang berani berulah kepada beliau.
Karomah
Keistimewaan beliau salah satunya yaitu pada masa mondok kepada Syaikh Rifa’i, suatu ketika ia pernah disuruh untuk memanjat pohon kelapa, namun saat pindah dari pohon satu ke pohon lain yang jarak nya sekitar 8 -10 meter tidak turun dari pohon itu, tetapi dengan cara melompat.
Peninggalan
Peninggalan beliau yang sekarang masih ada yaitu lesung (lumpang yang terbuat dari batu) yang letaknya di sebelah barat kampung Klilin yang dahulunya menjadi tempat kediaman beliau, yang bertepatan di kebun Ngasinan. Dan satu lagi yaitu jasnya yang sekarang dimusiumkan di Magelang bahkan kondisinya masih bagus. Adapun setelah wafat, beliau dimakamkan di pemakaman Sedingklikan Dusun Krajan, Desa Tempursari.
Silsilah Dzurriyah Syaikh Abdul Aziz
Tumenggung Gajah
Kyai Nur Yasin
Mbah Abdul Aziz
Mbah Abu Sajuri
Mbah SyarifI
Imam Puro
Mbah Syarif
Sumardi
Suyono
Maryono
Genep
Botok
Imam Puro
Rolian
Supri
Sripah
Siyah
Madun Setri
Daftar Narasumber
1.Bapak Ky. Nur Fahim, Tempursari.
2.Bapak KH. Mahasyim, Tempursari.
3.Catatan Sejarah Santri Pertama Syaikh Rifa’i, Oleh Simbah Ky. Sajuri Kalibening.
Penelusur Sejarah
Tim Al-Ishlah '1440 Ponpes Tanbiihul Ghoofiliin Sambek
0 Comments