Pondok Pesantren Tanbiihul Ghoofiliin

PON-PES TANBIIHUL GHOOFILIIN SAMBEK WONOSOBO

Ticker

6/recent/ticker-posts

Wilayah Persebaran Rifa'iyah Di Kendal

Di Kabupaten Kendal, Gerakan Rifa’iyah berpusat di beberapa desa yang memiliki rantai sejarah dengan masa lalu sang pendiri. Paling tidak, ada empat desa yang berkaitan dengan tokoh-tokoh Rifa’iyah generasi pertama maupun generasi kedua. Desa-desa itu adalah Desa Purwosari Kecamatan Patebon, Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh, Desa Kretegan Kecamatan Rowosari, dan Desa Lebosari Kecamatan Kangkung. Sejak masa kolonial, tokoh-tokoh Rifaiyah aktif mengembangkan paham ini melalui pengajian-pengajian di desa-desa di wilayah Kendal, sebagaimana tertera dalam surat Residen Kendal, G. D. P. A. Renardel de Lavallete kepada Residen Semarang, J. Van Gigch, 24 Oktober 1924.(Abdul Jamil, 2001; 202). Catatan dari Jaman Hindia-Belanda ini sekaligus membuktikan bahwa ajaran Rifa’iyah sudah menyebar di tingkat lokal dan menjadi perhatian pemerintah kolonial saat itu.
Di bawah ini merupakan gambaran tentang desa-desa tersebut:

Desa Purwosari

Desa ini memiliki sejarah tersendiri karena disinilah tokoh generasi kedua, Kyai Idris, mengembangkan ajaran Rifa’iyah melalui Pendidikan Pesantren Purwosari . Pesantren Purwosari biasanya dianggap memiliki pandangan keagamaan yang lebih konservatif [4] dibandingkan pesantren-pesantren Rifa’iyah lainnya, baik di wilayah Kendal ataupun di luar Kendal seperti di Pekalongan, Wonosobo, dan lain-lain. Sebagai contoh, jika Pesantren Kretegan (Kendal) melaksanakan Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan, maka Pesantren Purwosari ini tidak melaksanakannya. Para santri dan kyai di pesantren itu justru melaksanakan shalat qadha[5] berjama’ah sejalan dengan ajaran KH. Ahmad Rifa’I mengenai persoalan qadha’ mubadarah[6].
Sekalipun termasuk Pesantren Rifa’iyah tertua, namun Pesantren Purwosari kurang mampu mengajak penduduk sekitar untuk menjadi pengikut Rifa’iyah. Kondisi ini berlawanan dengan Pesantren Kretegan dan Pesantren Cepokomulyo yang mampu menciptakan komunitas Rifa’iyah pada sekeliling masjid. Sikap konservatif dari para tokohnya mungkin merupakan penyebab kurang dapat
nya berinteraksi dengan masyaraka luas.

             Penyebaran ajaran Rifa’iyah ke Purwosari, dulunya dibawa oleh murid generasi pertama Syaikh Ahmad Rifa’i, yaitu KH. Muhammad Tubo bin Radam (1786-1897). Tokoh ini berasal dari Desa Pidodo Wetan, Kecamatan Patebon, Kendal. Sebelum nyantri di Kalisalak, ia pernah menimba ilmu agama di Kediri, Jawa Timur dan Indramayu, Jawa Barat. Pada 1830 ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Beberapa tahun kemudian ia mendirikan pesantren dan mengajarkan kitab tarajumah di Desa Purwosari, Kecamatan Patebon, Kendal. Pesantren Purwosari yang dibangun KH.  Muhammad Tubo merupakan salah satu dari tiga pesantren tarajumah yang berkembang pada periode pasca pengasingan Syaikh Ahmad Rifa’i pada tahun 1859 M. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Konon santrinya mencapai ratusan yang pada umumnya berasal dari keluarga penganut Islam tarajumah yang disebarkan oleh pengikut-pengikut generasi pertama.

Di antara santri KH. Muhammad Tubo yang berhasil mengembangkan Islam Tarajumah di daerah asal mereka sekaligus menjadi tokoh Rifa’iyah pada periode berikutnya adalah KH. Idris yang tidak lain adalah putra KH. Muhammad Tubo sendiri.

            Seperti telah disinggung di muka, KH. Muhammad Tubo adalah generasi pengikut pertama dalam garis silsilah penyebaran ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i. Setelah kewafatan KH. Muhammad Tubo, rantai penyebaran ajaran diteruskan oleh Kyai Idris, Ky Ahmad Badri , dan pada masa sekarang, Kyai Hasan Badri.




Desa Kretegan

Ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i muncul di Desa Kretegan kira-kira sejak tahun 1905 M. Ajaran ini mula-mula dibawa oleh murid Syaikh Ahmad Rifa’i, yaitu Syaikh Bajuri. Setelah menimba ilmu agama di Pesantren Purwosari, ia mendirikan pesantren sendiri di Desa Kretegan yaitu Ponpes APIK. Metode yang dilakukan Syaikh Bajuri adalah metode klasik, yaitu melalui pengajian di masjid-masjid atau mushola-mushola yang berada di Desa Kretegan dan sekitarnya. Cara ini sengaja dilakukan agar menarik perhatian orang-orang awam.Yang lebih menarik lagi adalah metode yang dilakukan Syaikh Bajuri yang menggunakan alat-alat musik tradisional yang terbuat dari kulit binatang seperti sapi atau kambing yang biasa disebut “ terbang“ ( rebana ) dan beduk. Syaikh Bajuri wafat pada  tahun 1975 M dan dimakamkan di Desa Kretegan.

            Sekarang di Desa Kretegan ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh kumpulan anak-anak muda Rifa’iyah yaitu IRMAS ( Ikatan Remaja Masjid ). Tujuan IRMAS adalah menampung dan memberi sarana generasi muda untuk melakukan berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian, latihan pidato, pembacaan atau pelantunan Al-quran, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa yang difasilitasi oleh ranting Rifa’iyah guna memperdalam ilmu agama, seperti pengajian mingguan dan lain-lain. Kegitan-kegiatan ini sudah berjalan sejak tiga tahun terakhir. Untuk anak-anak usia 5-12 tahun, ada sebuah lembaga pendidikan yang didirikan sebagai tempat belajar mereka, seperti Madrasah Diniah (MADIN). Pesantren APIK ini sangat akomodatif dan terlihat menjalin interaksi dengan masyarakat luas sehingga pengikut Rifa’iyah berkembang cukup baik bahkan meluas ke wilayah pesisir utara Kendal (wilayah Pantai Sikucing).

           Rantai penyebaran ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i di Desa Kretegan berawal dari murid genarasi pertama, yaitu KH. Abdul Qohar dari Desa Rejosari, Kecamatan Cepiring, Kendal pada abad ke-19M. Tokoh generasi ke dua yang meneruskan ajaran Rifa’iyah adalah muridnya yaitu KH Bajuri dan dilakukan pada tahun 1950. Dia merupakan pembawa sekaligus generasi perintis Rifaiyah di Desa Kretegan. Setelah KH. Bajuri tutup usia, penerus ajaran dipegang berturut-turut oleh KH. Ma’sum dan KH. Ali Munawir (keduanya sudah meninggal). Semasa hidupnya, KH. Ali Munawir pernah menjabat sebagai Dewan Syuro Rifa’iyah pada 2007. Sekarang, ajaran ini dibawa oleh KH. Fauzan.

Desa Lebosari

Penyebaran ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i di Desa Lebosari, Kecamatan Kangkung, Kabupaten Kendal dimulai pada tahun 1910 M. Ajaran ini dibawa oleh seorang pengikut Syaikh Ahmad Rifa’i yaitu Syaikh Abdul Qohar yang berasal dari Dukuh Mbekingking, Desa Rerjosari, Kecamatan Cepiring. Dia datang ke Lebosari dan menyebarkan ajaran Rifa’iyah kepada masyarakat desa itu. Sekarang, ajaran Rifa’iyah sudah berkembang pesat di sana. Bahkan, seluruh warga desa merupakan penganut ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i.

Ada beberapa kegiatan ke-Rifa’iyah-an yang menjadi rutinitas di Lebosari. Salah satunya adalah selapanan atau pengajian yang dilakukan 35 hari sekali dan Majelis Ta’lim. Masyarakat Rifa’iyah di desa ini juga memiliki lembaga-lembaga, seperti Angkatan Muda Rifa’iyah (AMRI). AMRI memiliki kegitan rutin yaitu Jami’atussu’ban. Selain itu, kegiatan Rifa’iyah lainnya adalah Sabi’ul Muttaqien. Lembaga pendidikan Rifa’iyah yang berdiri di Lebosari adalah taman pendidikan Qur’an ( TPQ ) Tarbiatul Aulad yang mempunyai sekitar 50 orang santri dan Madrasah Diniyah Miftakhul Falah yang kini sudah memiliki kurang lebih 70 orang santri.

            Tentang perkembangan Rifa’yah di Lebosari, Ky. Mudlori Al Badar mengatakan,
“Dulunya di desa ini belum ada orang yang menganut ajaran Rifa’iyah, tapi lama-kelamaan banyak orang yang masuk menjadi pengikut karena mereka merasa ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i menarik. Karena mengundang banyak simpati masyarakat, maka sekarang ini 100% warga desa adalah para menganut ajaran Rifaiyah” (Wawancara di Lebosari, Kecamatan Kangkung, Kendal, 28 Mei 2009).



Ada beberapa tokoh lokal Rifa’iyah yang sekarang menjadi pemuka gerakan, seperti KH. Rosyidi (mantan anggota DPRD Kendal dan hingga kini masih menjadi pengasuh Pondok Pesantren Subullussalam) dan Ky. Mudhori Al Badar. Dilihat dari garis silsilah guru-murid, Ky. Mudhori berada pada rantai ke tujuh dari silsilah guru-murid sampai ke Syaikh Ahmad Rifa’i, yaitu berturut-turut dari Kyai Soleh, Kyai Abdul Mannan, Kyai Maryani, Syaikh Abdul Qohar, Syaikh Maufuro.

Desa Cepokomulyo

Desa yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari pusat Kota Kendal ke arah selatan ini memiliki pengikut Rifa’iyah berjumlah kurang lebih 1.000 orang. Semuanya tinggal di wilayah yang sama sehingga dapat dikatakan desa ini merupakan Desa Rifa’iyah.

Perkembangan Rifa’iyah di sana bahkan dimulai sejak masa Syaikh Ahmad Rifa’i, yaitu melalui salah seorang santrinya bernama KH. Muhsin dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lain secara lintas generasi.

             KH. Muhsin berasal dari Desa Cepokomulyo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal. Sebagai murid setia Syaikh Ahmad Rifa’I yang telah menimba ilmu dari Pesantren Tarajumah Kalisalak, KH. Muhsin aktif mengajarkan kitab-kitab Rifa’iyah (kitab-kitab Tarajumah) di desa kelahirannya. Konon murid-murid Muhsin mencapai sekitar seratus santri yang datang dari berbagai desa sekitar. Namun sayang, pada sekitar tahun 1925, kitab-kitab tarajumah yang dipelajari di pesantren yang didirikan oleh Muhsin dibakar oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya adalah doktrin-doktrin yang tertulis di dalam kitab-kitab tarajumah yang dinilai mereka mengandung unsur agitasi[1] dan provokasi[2] yang sangat membahayakan stabilitas pemerintah Kolonial atau tatanan rust en orde.[3] Kecurigaan pihak kolonial didasarkan pada syair yang tertulis di dalam kitab syarikhul iman :
Mukmin bengkuk kasab nandur ketela,
Iku luwih becik tinimbang bengkuk seba ing wong ala,
Nanggung dosa gede tan bisa tobat katula,
Ora patut wong duraka kede di pilala
.”
Terjemahan bebasnya adalah
 :
Orang (Islam) yang bermandi keringat menanam pohon ketela itu lebih baik daripada mereka yang bersembah-simpuh kepada orang yang buruk kelakuannya (yang dimaksud adalah orang Belanda), yang sering melakukan dosa besar namun tidak pernah bertobat. Orang yang semacam itu (orang Belanda) tidak patut diikuti perintahnya.

               Karena banyak anjuran anti-kolonial lainnya yang difatwakan oleh Syaikh Ahmad Rifa’i kepada murid-muridnya, maka tidak heran bila akhirnya ajaran Rifa’iyah diberangus dan sang pendiri ditangkap serta di asingkan. Perlakuan yang menindas seperti ini merupakan antisipasi politis pihak pemerintah kolonial Belanda terhadap aksi-aksi pemberontakan yang bisa terjadi kapan saja.Penindasan ini di alami oleh gerakan-gerakan keagamaan sepanjang abad ke 19 dan ke 20 M (Abdul Djamil, 2001:xxiii-xxvi).

              Sekarang, di Desa Cepokomulyo sudah berdiri Pondok Pesantren Rifa’iyah di bawah pimpinan K.H. Muhammad Sa’ud. Nama pondok pesantren itu adalah Roudlotul Muttaqien yang mempunyai kurang lebih 150-an santri. Di desa ini telah berdiri pula ormas-ormas Rifa’iyah, seperti AMRI (Angkatan Muda Rifa’iyah), UMRI (Umroh Rifa’iyah) dan IRMAS (Ikatan Remaja Masjid). Selain Kyai Saud, ada seorang tokoh lokal yang berperan aktif dalam penyebaran ajaran Rifa’iyah, yaitu Ust. Nurruddin.Beliau biasa diundang mengisi pengajian-pengajian akbar di Kabupaten Kendal dan sekitarnya. Dalam organisasi Rifa’iyah, Ust. Nurruddin pernah menjabat sebagai ketua umum AMRI periode 2004-2008. Ia adalah murid KH Muhammad Saud.
Dari silisilah guru-murid, KH. Muhammad Saud adalah generasi kelima dari pendiri Rifa’iyah, Syaikh Ahmad Rifa’i. Sebelum di pegang oleh Kyai Saud, tokoh yang memegang peranan penting dalam penyebaran ajaran KH Ahmad Rifa’i di Desa Cepoko Mulyo berturut-turut adalah Kyai Zaenudin, Kyai Fadholi dan Kyai Mukhsin
.


                                                                                   










Post a Comment

0 Comments