Apakah islam melarang generasi muda untuk berpacaran ?
Ya... kalau yang dimaksud pacaran ialah bercinta dengan kekasih yang diaplikasikan terhadap hal-hal berbau hal negatif seperti pelukan, ciuman, berpegangan tangan tentunya secara tegas norma syari’at telah melarangnya. Wajar saja perbuatan demikan dilarang, karena pengaruh efek negatifnya sangat besar dalam kehidupan manusiawi yaitu wasilah atau lantaran perbuatan zina. Sedangkan syari’at sendiri sudah memberikan jalan keluar untuk menikah, sebuah solusi yang banyak sekali hikmahnya. Nah, mungkin solusi lain juga diterapkan oleh syar’i sebelum prosesi pernikahan mengenai kesunahan sebelum pernikahan. Yaitu yang telah disajikan dalam kitab Tabyin Al-Ishlah karya beliau Syaikh K.H Ahmad Rifa’i korasan 1 hal. 10 yang berbunyi :
ويسن نظر كل من الرجل والمرآة للاخر بعد قصد النكاح قبل خطبة غير عورة في الصلاة وان لم يؤذن له فيه
Dengan teks khas jawanya yaitu:
Lan disunataken ningali kinawaruhan saben sangking wong lanang lan wong wadonan
Kerono wenehe sawuse ono panejan nikah sadurunge ngelamar katentuhan
Ninglali liyane ngurate wadon anane ingdalem sholat yaiku rerahine
Lan epek-epeke karo dzohir batine ikulah wenang wong lanag tinamune
Ningali ing wong wadon nejo kanikahan lan senadiyan ora idzin wadonan
Kaduwe wong lanang ingjerone kinawaruhan iku weruho ing wadho’e kawenangan
Landasan hukum diatas ialah hadits Nabi SAW :
انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما المودة والالفة (رواه الترمذي)
“Lihatlah padanya (perempuan yang akan dinikahi), karena hal itu lebih sesuai untuk menyatukan rasa kasih sayang dan keharmonisan antara kalian berdua.” (HR. Atturmudzi)
Substansi hukum dari lafdziyah diatas adalah sunah bagi pria memandang wanita atau sebaliknya dalam rangka adanya hajat untuk menikah. Kelonggaran syar’i kepada kalangan muda-mudi tersebut secara teknis apabila memenuhi beberapa syarat dibawah ini :
*Pertama (sawuse ono panejan nikah) pelaku mempunyai tekad atau niatan untuk menikahinya. Sebab ketika sepi dari tujun tersebut maka tidak ada hajat.
*Kedua (sadurunge ngelamar katentuan) waktu memandangnya adalah sebelum proses peminangan. Adapun ketika pandanga tersebut dilakukan setelang peminangan para ulama fiqih masih berbeda pandangan, meskipun tetap menyisakan embel-embel “sawuse ono panejan nikah”. Guru kita sendiri -Syaikh Rifa’i (1200-1289 H)- lebih condong terhadap pendapat yang hanya menghukumi sunah sebelum proses meminang. Disebabkan akan menimbulkan penolakan terhadap calonya dan sangat berat hati bagi wanita ketika ditolak apabila memandang tersebut dilakukan setelah melamar. Selain itu juga dapat mengganggu perasaan wanita atau keluarganya. Namun bagaimanapun juga hukum tersebut tidak dapat disikapi terlalu kaku, karena pendapat lain mengatakan tetap disunahkan memandang setelah peminangan seperti halnya pendapat Syaikh Ar-Romli (919-1004 H), khilaful aula, dan juga ada yang berpendapat mubah saja. Meskipun yang lebih mu’tamad tetap hukumnya sunah.
*Ketiga (Ninglali liyane ngurate wadon anane ingdalem sholat yaiku rerahine Lan epek-epeke karo dzohir batine) objek yang dilihat sebatas wajah dan kedua telapak tangan luar dan dalam (bagi wanita merdeka) dan anggota tubuh selain antara pusar sampai lutut (bagi pria dan budak wanita). Sedangkan hikmahnya yaitu wajah sebagai petunjuk kecantikan atau ketampanan calon, dan telapak tangan sebagai indikasi kesuburan atau kehalusan tubuh sang calon.
*Keempat calon istri diyakini tidak dalam ikatan pernikahan, ‘iddah, atau telah menjadi pinangan orang lain.
*Kelima ada harapan kuat pinanganya akan diterima. Jika harapan diterima atau tidak bobotnya setara maka menurut qoul aujah tidak masalah.
Kebolehan memandang yang demikian tadi tidak disyaratkan adanya izin dari calon mempelai atau walinya karena memang berdasarkan syara’ yang memfasilitasinya yang secara harfiah telah dinyatakan oleh guru kita diatas (lan senadiyan ora idzin wadonan
Kaduwe wong lanang ingjerone kinawaruhan), dan supaya calon suami tidak berhias (memperindah tampilanya) terlebih dahulu yang dapat menimbulkan kekecewaan calon suami yang bertujuan untuk mengetahui keadaan sang putri secara wujud aslinya.
Memandang boleh dilakukan berulang kali jika memang dibutuhkan meskipun lebih dari tiga kali sampai benar-benar jelas dan mantab dengan keadan calon pinanganya dan tidak ada unsur kekecewaan setelah pernikahan. Tidak ada pembatasan hitungan yang pasti karena yang menjadi acuan adalah adanya hajat, baik itu disertai syahwat atau takut fitnah.
Apabila memandang tersebut sulit dilakukan karena keadaan tertentu semisal malu, atau memang sengaja tidak berkehendak melihatnya maka diganti dengan cara lain yaitu mengutus delegasi wanita lain atau seseorang yang semahram untuk mengamati dan mencirikan wanita calonya secara spesifik. Delegasi boleh mencirikan lebih dari apa yang diperbolehkan ketika dilihat dengan sendirinya seperti dada, perut, atau lenganya karena berdasarkan kaidah “perkara yang tidak dapat dihasilkan dengan pandangan itu bisa hasil dengan utusan”.
Proses tersebut tidak hanya berlaku terhadap pria saja tetapi juga berlaku pada wanita (lan sunah ugo wadon arep kanikahan dene wong lanang yoiku arep kinaweruhan wong lanag kang nejo nikah ingkang sariran) yang notabenenya tidak melanggar konsep-konsep yang telah dirumuskan oleh syara’, sesuai nasihat Syaikh Rifa’i diatas “iku weruho ing wadho’e kawenangan”.
Nah, semoga dapat difaham maksud pacaran secara islami diatas, agar senantiasa kita bisa ‘adil atau konsisten dalam menjalankan amanah kita sebagai manusia yang dapat membedakan dosa besar maupun kecil dan tetap berlandaskan ajaran panutan kita tercinta Nabi Muhammad SAW.
Nasihat yang dituangkan dalam sya’ir guru kita “lan kang harom weruho hukumane doso gede lan cilik weruha bedane kang dadi sabab hasil ngadil sarirane iku wajib kacito ati nuline”.
0 Comments