Asal-usulnya
Syaikh Abu Hasan sebelum menetap di
daerah Kepil, Wonosobo merupakan prajurit dari Pangeran Diponegoro. Umur beliau
kurang lebih 90 tahun. Mempunyai saudara kandung bernama Hasan Dumejo yang
merupakan adiknya. Dua sosok yang bersaudara tersebut selalu bersama dan kompak
dalam perjuangan dakwakhnya.
Sebelum mondok di
pesantren Syaikh Ahmad Rifa’i, Syaikh Abu Hasan mengaji kepada seorang Kyai
yang bernama Syaikh Murtaqo Krakal, Karangluhur, Kertek, Wonosobo selama
beberapa tahun. Kemudian sempat menerima kabar yang berisi wasiat dari Syaikh
Murtaqo. Bahwasanya akan muncul ulama’ jawa yang di juluki umbul-umbul
wareng (maksudnya ulama’ yang akan mengalih bahasakan kitab-kitab arab
kedalam bahasa jawa).
Perjalanan Mencari Guru
Pada waktu itu ada dua pemuda yang
berasal dari Kalitulang yang bernama Amad ‘Arfani, dan satunya lagi berasal
dari daerah Wonosobo bernama Amad Kardi yang menjadi upas (polisi) kabupaten Wonosobo.
Kedua pemuda tersebut pergi dari
daerahnya dengan tujuan mencari guru yang ‘alim ‘adil dan mondok
(mengaji) kepadanya. Ternyata pada akhirnya kok sampai di desa Kalisalak
tempatnya di rumahnya upas (polisi) Kalisalak yang bernama Mas
Cokroredjo. Kemudian menginap dirumahnya sekalian beristirahat selama semalam.
Rumah Mas Cokroredjo terletak bersebelahan dengan rumah kyai Ahmad Rifa’i.
Singkat cerita kedua rekan tersebut ditanya
oleh Mas Cokroredjo, “Si Adi sekalian ajeng sami dateng pundi, dene
sareng-sareng ? (Adik-adik sekalian mau kemana, kok bersama-sama ? Red;
Indonesia). kemudian jawabanya :“Ajeng mondok pados guru. Napa ngriki wonten
guru sing ageng nggih kakang ?” (Mau nyantri/mengaji dan mencari guru,
apakah di daerah sini ada guru yang besar ya kak ?). “Wonten, niku kilen
kula geriyane. Nanging dereng gadah murid setunggal-tunggala, jalaran murid
sing keriyin sami bubar. Sebabe niku kyaine jawak-jawaaken kitab arob, saha
nyaine lan sakputra-putrane lan sak muride istri menawi medal sangking geriyane
didawuhi ken kudungan, mulane muride sami bubar sedanten”. (Ya ada, itu
rumahnya sebelah barat rumah ku, tetapi belum mempunyai murid sama sekali.
Kerena murid yang dahulu sudah kabur semua. Sebabnya, kyai tersebut menjawakan
kitab-kitab arab. Dan juga istri dan murid-murid perempuanya di dinasehati agar
memakai kerudung. Makanya murid-muridnya kabur/bubar semua). Begitulah jawaban yang
diutarakan Mas Cokroredjo.
Setelah mendapat keterangan demikian
besoknya kedua kawan tersebut pergi (sowan) kepada kyai. Kemudian
berbicara di hadapan kyai : “Kula matur sampeyan kyai, lampah kawula sowan
ing ngarsane kyai, kawula bade nderek nyuwita ing ngarsane kyai menawi
panjenengan sudirapih dateng kawula. Utawi kawula badhe nyuwun pertikele bab
agama”. (Saya mau berbicara denganmu kyai, kedatanganku kemari bertujun
untuk ikut ngabdi (nyuwita) kepadamu, jika anda sudi dan berkehendak.
Adapun saya mau meminta/belajar ilmu tentang bab agama). “Nggih sahe”. (ya,
itu baik), Jawab kanjeng kyai. Kemudian oleh kyai di ajar syahadat beserta
maknanya sampai i’lam weruho (ilmu tauhid/usul), kemudian diajari tentang
air yang digunakan untuk bersuci sampai sampai syarat sah wudhu dan mandi,
kemudian diajari tentang tatacara takbir, fatikhah, takhiyat, sholawat , dan
salam (ilmu fiqih). Kemudian dikasih kitab Khusnal Mitholab supaya
dipelajari (dikaji).
Setelah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan fardhu ‘ain dan
mudhoyyi’ (sah iman sah ibadat) dirasa sudah terpenuhi dan cukup, kemudian Amad
Kardi diganti namanya menjadi Abu Hasan. Dan temanya kyai Amad ‘Arfani namanya
diganti menjadi Muhammad Asy’ari. Sesudah pergi haji namanya diganti lagi
menjadi Abdul Aziz Kedua orang tersebut kemudian mengabdi menjadi murid kanjeng
kyai cukup lama.
Syaikh Abu Hasan merupakan murid
yang menemani atau mendampingi Syaikh Ahmad Rifa’i sewaktu beliau disidang oleh
pemerintahan Pekalongan dan menyaksikan para hadirin semuanya sudah berkompromi
bertepuk tangan ramai sewaktu Syaikh Ahmad Rifa’i ingin mengutarakan hujjah
atau argumen kepada penyidang, sehingga Syaikh Ahmad Rifa’i dinyatakan kalah (lemah
hujjah) dan di serahkan kepada pemerintahan kota Semarang, dilanjutkan ke
Ambon, kemudian diasingkan ke Manado.
Saat beliau masih mukim di pesantren
Kalisalak, beliau menjumpai taslimnya (taslim artinya hatinya pasrah dan mau
menerima ajaran-ajaran Syaikh Rifa’i) beberapa murid-muridnya yang berpengaruh
dan berperan besar dalam membantu memperjuangkan keutuhan ajaran kitab
tarajummah, diantaranya ialah kyai Yasir Bugangan, kyai Muhammad Tuban
Kalibaru, kyai Abdul Hadi Dalangan, kyai Abu Manshur Candi, Kyai Hadits
Karangsambo, Kyai Maufuro Wonobodro, Kyai Ilham Kalipucang, Kyai Abdul Qohar
Arjosari, Kyai Tuba Purwosari, Kyai Abdul Fatah Sekidang, Kyai Abu Darda
Mataram, Kyai Hasan Thayyib Kalibening, Kyai Muslim Paesan, Kyai Idris
Arjawinangun dll. Dan sewaktu Kyai Maufura taslim juga membawa teman 40 orang dan
semuanya ikut taslim. Begitu juga Kyai Abu Darda membawa muridnya yang
berjumlah 40 orang dan menginap di kediaman Kanjeng Kyai selama 40 hari dan
semuanya juga ikut taslim. Bahkan pada waktu itu Kanjeng Kyai dalam memberikan
suguhan tamunya (sebagai penghormatan) menghaiskan biaya 500 rupiah,
dikarenakan cara beliau memberi suguhan layaknya cara keraton. Sebab Kyai Abu
Darda ialah ulama’ keraton.
Cara Dakwah Yang Berbeda
Sekembalinya Syaikh
Abu Hasan dan adiknya Syaikh Hasan Dimejo dari Kalisalak kemudian beliau
mengembangkan ilmunya dengan menyebarluaskan ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i ke
berbagai daerah seperti, Kedu, Mbatok, Wonosobo, Ambarawa, Boyolali, dan
beberapa daerah lainya dan uniknya beliau hanya bertugas menarik masyarakat
agar mau masuk islam dengan membimbing mengucapkan kalimah syahadat loro sak maknane kemudian menyuruhnya mondok atau
nyantri kepada Syaikh Abdul Hamid atau Mbah Hadits Karang Sambo.
Karomah Syaikh Abu Hasan
Diantara karomah-karomah Syaikh Abu Hasan ialah :
1. Pada saat Syaikh Ahmad Rifa’i sedang membangun Mushola tiba-tiba
Syaikh Abu Hasan dan Syaikh Hasan Dimejo datang dan melompat naik ke bagian
atas Mushola tanpa perantara tangga (mabur red; jawa). Juga sewaktu beliau
dalam perjalanan, kemudian ada yang mau merampok (dibegal red; jawa). Bersamaan
dengan membuka ikat kepalanya keluarlah api pada rambut beliau yang menjadikan
para perampok tersebut ciut nyali.
2. Pada siang hari ketika para kolonial Belanda merampas beberapa
kitab tarajummah dibeberapa tempat, dan mereka menata beberapa tumpukan kitab
tersebut di depan pintu lalu menduduki, (yang tujuanya tidak lain menghina dan
memancing emosi) tiba-tiba mereka tersambar petir.
3. Kejadian yang terjadi di kabupaten Wonosobo, bupati Wonosobo waktu
itu menyalah-nyalahkan pandangan rukun islam satu oleh Syaikh Rifa’i. Syaikh
Hasan Abu Hasan kemudian berinisiatif untuk memberikan bukti atau keterangan
kepada bupati tersebut dengan meminta untuk dikumpulkan para kyai sekabupaten
Wonosobo untuk menghadiri acara itu. Ketika semuanya sudah berkumpul lalu
Syaikh Hasan Dumejo datang. Bupati tersebut meminta perjanjian bahwa jika
Dumejo nanti yang kalah maka beliau akan disembelih, namun jika yang kalah para
kyai Wonosobo maka akan dicukur jenggotnya. Singkat cerita Mbah Hasan Dumejo
lah yang menang. Maka sesuai perjanjian bupati akan mencukur jenggotnya para
kyai. Ketika akan dicukur tetapi mereka melarikan diri (kabur semua).
Sumber :
·
KH.
Amin Ridho Krasak.
·
Catatan
sejarah santri pertama Syaikh Ahmad Rifa'i oleh: Mbah Abu Sajuri Kalibening
Penelusur : Tim Al-Ishlah ‘1440. PPTG_Sambek.
0 Comments