Pondok Pesantren Tanbiihul Ghoofiliin

PON-PES TANBIIHUL GHOOFILIIN SAMBEK WONOSOBO

Ticker

6/recent/ticker-posts

Sejarah Syaikh Abu Hasan Kepil




Asal-usulnya

Syaikh Abu Hasan sebelum menetap di daerah Kepil, Wonosobo merupakan prajurit dari Pangeran Diponegoro. Umur beliau kurang lebih 90 tahun. Mempunyai saudara kandung bernama Hasan Dumejo yang merupakan adiknya. Dua sosok yang bersaudara tersebut selalu bersama dan kompak dalam perjuangan dakwakhnya.
          Sebelum mondok di pesantren Syaikh Ahmad Rifa’i, Syaikh Abu Hasan mengaji kepada seorang Kyai yang bernama Syaikh Murtaqo Krakal, Karangluhur, Kertek, Wonosobo selama beberapa tahun. Kemudian sempat menerima kabar yang berisi wasiat dari Syaikh Murtaqo. Bahwasanya akan muncul ulama’ jawa yang di juluki umbul-umbul wareng (maksudnya ulama’ yang akan mengalih bahasakan kitab-kitab arab kedalam bahasa jawa).

Perjalanan Mencari Guru

Pada waktu itu ada dua pemuda yang berasal dari Kalitulang yang bernama Amad ‘Arfani, dan satunya lagi berasal dari daerah Wonosobo bernama Amad Kardi yang menjadi upas (polisi)  kabupaten Wonosobo.
Kedua pemuda tersebut pergi dari daerahnya dengan tujuan mencari guru yang ‘alim ‘adil dan mondok (mengaji) kepadanya. Ternyata pada akhirnya kok sampai di desa Kalisalak tempatnya di rumahnya upas (polisi) Kalisalak yang bernama Mas Cokroredjo. Kemudian menginap dirumahnya sekalian beristirahat selama semalam. Rumah Mas Cokroredjo terletak bersebelahan dengan rumah kyai Ahmad Rifa’i.
 Singkat cerita kedua rekan tersebut ditanya oleh Mas Cokroredjo, “Si Adi sekalian ajeng sami dateng pundi, dene sareng-sareng ? (Adik-adik sekalian mau kemana, kok bersama-sama ? Red; Indonesia). kemudian jawabanya :“Ajeng mondok pados guru. Napa ngriki wonten guru sing ageng nggih kakang ?” (Mau nyantri/mengaji dan mencari guru, apakah di daerah sini ada guru yang besar ya kak ?). “Wonten, niku kilen kula geriyane. Nanging dereng gadah murid setunggal-tunggala, jalaran murid sing keriyin sami bubar. Sebabe niku kyaine jawak-jawaaken kitab arob, saha nyaine lan sakputra-putrane lan sak muride istri menawi medal sangking geriyane didawuhi ken kudungan, mulane muride sami bubar sedanten”. (Ya ada, itu rumahnya sebelah barat rumah ku, tetapi belum mempunyai murid sama sekali. Kerena murid yang dahulu sudah kabur semua. Sebabnya, kyai tersebut menjawakan kitab-kitab arab. Dan juga istri dan murid-murid perempuanya di dinasehati agar memakai kerudung. Makanya murid-muridnya kabur/bubar semua). Begitulah jawaban yang diutarakan Mas Cokroredjo.
Setelah mendapat keterangan demikian besoknya kedua kawan tersebut pergi (sowan) kepada kyai. Kemudian berbicara di hadapan kyai : “Kula matur sampeyan kyai, lampah kawula sowan ing ngarsane kyai, kawula bade nderek nyuwita ing ngarsane kyai menawi panjenengan sudirapih dateng kawula. Utawi kawula badhe nyuwun pertikele bab agama”. (Saya mau berbicara denganmu kyai, kedatanganku kemari bertujun untuk ikut ngabdi (nyuwita) kepadamu, jika anda sudi dan berkehendak. Adapun saya mau meminta/belajar ilmu tentang bab agama). “Nggih sahe”. (ya, itu baik), Jawab kanjeng kyai. Kemudian oleh kyai di ajar syahadat beserta maknanya sampai i’lam weruho (ilmu tauhid/usul), kemudian diajari tentang air yang digunakan untuk bersuci sampai sampai syarat sah wudhu dan mandi, kemudian diajari tentang tatacara takbir, fatikhah, takhiyat, sholawat , dan salam (ilmu fiqih). Kemudian dikasih kitab Khusnal Mitholab supaya dipelajari (dikaji).
Setelah  ilmu-ilmu yang berkaitan dengan fardhu ‘ain dan mudhoyyi’ (sah iman sah ibadat) dirasa sudah terpenuhi dan cukup, kemudian Amad Kardi diganti namanya menjadi Abu Hasan. Dan temanya kyai Amad ‘Arfani namanya diganti menjadi Muhammad Asy’ari. Sesudah pergi haji namanya diganti lagi menjadi Abdul Aziz Kedua orang tersebut kemudian mengabdi menjadi murid kanjeng kyai cukup lama.
Syaikh Abu Hasan merupakan murid yang menemani atau mendampingi Syaikh Ahmad Rifa’i sewaktu beliau disidang oleh pemerintahan Pekalongan dan menyaksikan para hadirin semuanya sudah berkompromi bertepuk tangan ramai sewaktu Syaikh Ahmad Rifa’i ingin mengutarakan hujjah atau argumen kepada penyidang, sehingga Syaikh Ahmad Rifa’i dinyatakan kalah (lemah hujjah) dan di serahkan kepada pemerintahan kota Semarang, dilanjutkan ke Ambon, kemudian diasingkan ke Manado.
Saat beliau masih mukim di pesantren Kalisalak, beliau menjumpai taslimnya (taslim artinya hatinya pasrah dan mau menerima ajaran-ajaran Syaikh Rifa’i) beberapa murid-muridnya yang berpengaruh dan berperan besar dalam membantu memperjuangkan keutuhan ajaran kitab tarajummah, diantaranya ialah kyai Yasir Bugangan, kyai Muhammad Tuban Kalibaru, kyai Abdul Hadi Dalangan, kyai Abu Manshur Candi, Kyai Hadits Karangsambo, Kyai Maufuro Wonobodro, Kyai Ilham Kalipucang, Kyai Abdul Qohar Arjosari, Kyai Tuba Purwosari, Kyai Abdul Fatah Sekidang, Kyai Abu Darda Mataram, Kyai Hasan Thayyib Kalibening, Kyai Muslim Paesan, Kyai Idris Arjawinangun dll. Dan sewaktu Kyai Maufura taslim juga membawa teman 40 orang dan semuanya ikut taslim. Begitu juga Kyai Abu Darda membawa muridnya yang berjumlah 40 orang dan menginap di kediaman Kanjeng Kyai selama 40 hari dan semuanya juga ikut taslim. Bahkan pada waktu itu Kanjeng Kyai dalam memberikan suguhan tamunya (sebagai penghormatan) menghaiskan biaya 500 rupiah, dikarenakan cara beliau memberi suguhan layaknya cara keraton. Sebab Kyai Abu Darda ialah ulama’ keraton.

Cara Dakwah Yang Berbeda

          Sekembalinya Syaikh Abu Hasan dan adiknya Syaikh Hasan Dimejo dari Kalisalak kemudian beliau mengembangkan ilmunya dengan menyebarluaskan ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i ke berbagai daerah seperti, Kedu, Mbatok, Wonosobo, Ambarawa, Boyolali, dan beberapa daerah lainya dan uniknya beliau hanya bertugas menarik masyarakat agar mau masuk islam dengan membimbing mengucapkan kalimah syahadat loro sak maknane kemudian menyuruhnya mondok atau nyantri kepada Syaikh Abdul Hamid atau Mbah Hadits Karang Sambo. 



Karomah Syaikh Abu Hasan

Diantara karomah-karomah Syaikh Abu Hasan ialah :
1.     Pada saat Syaikh Ahmad Rifa’i sedang membangun Mushola tiba-tiba Syaikh Abu Hasan dan Syaikh Hasan Dimejo datang dan melompat naik ke bagian atas Mushola tanpa perantara tangga (mabur red; jawa). Juga sewaktu beliau dalam perjalanan, kemudian ada yang mau merampok (dibegal red; jawa). Bersamaan dengan membuka ikat kepalanya keluarlah api pada rambut beliau yang menjadikan para perampok tersebut ciut nyali.

2.     Pada siang hari ketika para kolonial Belanda merampas beberapa kitab tarajummah dibeberapa tempat, dan mereka menata beberapa tumpukan kitab tersebut di depan pintu lalu menduduki, (yang tujuanya tidak lain menghina dan memancing emosi) tiba-tiba mereka tersambar petir.

3.     Kejadian yang terjadi di kabupaten Wonosobo, bupati Wonosobo waktu itu menyalah-nyalahkan pandangan rukun islam satu oleh Syaikh Rifa’i. Syaikh Hasan Abu Hasan kemudian berinisiatif untuk memberikan bukti atau keterangan kepada bupati tersebut dengan meminta untuk dikumpulkan para kyai sekabupaten Wonosobo untuk menghadiri acara itu. Ketika semuanya sudah berkumpul lalu Syaikh Hasan Dumejo datang. Bupati tersebut meminta perjanjian bahwa jika Dumejo nanti yang kalah maka beliau akan disembelih, namun jika yang kalah para kyai Wonosobo maka akan dicukur jenggotnya. Singkat cerita Mbah Hasan Dumejo lah yang menang. Maka sesuai perjanjian bupati akan mencukur jenggotnya para kyai. Ketika akan dicukur tetapi mereka melarikan diri (kabur semua).

Sumber :
·        KH. Amin Ridho Krasak.
·        Catatan sejarah santri pertama Syaikh Ahmad Rifa'i oleh: Mbah Abu Sajuri Kalibening

Penelusur : Tim Al-Ishlah ‘1440. PPTG_Sambek.

Post a Comment

0 Comments