Asal-Usul Syaikh Abu Manshur
Terpaut masa sekitar 250-300 tahun setelah kedatangan Mbah Brojokoso (mempunyai nama asli Mbah Abdussalam, sebagai penyebar agama islam pertama di Desa Ngadisalam yang awal mulanya mayoritas masyarakat setempat beragama Hindu. Dengan ketelatenannya, akhirnya banyak masyarakat Ngadisalam yang memeluk Islam. Perjuanga dakwahnya dilanjutkan oleh Mbah Abdullah dan putranya yaitu Mbah Ali, kemudian datanglah pemuda dari daerah Yogyakarta, termasuk prajurit Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri dari kejaran pasukan Kolonial Belanda. Pemuda tersebut bernama Wiroyudho dan Abdul Ghoni. Kemudian Wiroyudho membuat cara supaya dirinya aman dari pengkejaran pasukan Belanda yaitu dengan mengganti namanya menjadi “Ngarsan”. Kejadian tersebut sekitar tahun 1225 H / 1803 M.
Menurut riwayat lain menerangkan bahwa Syaikh Abu Manshur yang mempunyai nama asli Prawiranegara ialah berasal dari daerah Yogyakarta. Dimana pada masa itu masih menjadi prajurit relawan Perang Jawa yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro untuk melawan pasukan Kolonial Belanda. Dikarenakan pasukan perang Pangeran Diponegoro terdesak melalui tipu muslihat negosiasi oleh Kolonial Belanda di daerah Magelang yang ternyata adalah penyergapan, Mbah Abu Manshur menyelamatkkan diri ke daerah Wonosobo tepatnya di dusun Candi, Ngadisalam, Sapuran.
Mbah Ishaq Berguru Kepada Syaikh Rifa’i
Singkat cerita beliau memiliki dua putra yaitu Mbah Ishaq dan Mbah Kasah. Ayahnya, Mbah Ngarsan/Mbah Wiroyudho menyampaikan berita kepada putranya yaitu Ishaq : ”Ishaq ... bakale ana kyai sing sekti mandraguna kang manggon ana ing lereng Gunung Perahu. Saiki wektune wis parek. Cobo lurunen lan merguruwa karo kyai kuwi”. (“Ishaq ... akan muncul seorang kyai sakti mandraguna yang berada di lereng Gunung Perahu. Sekarang sudah dekat waktunya. Coba kau cari kyai tersebut dan berguru kepadanya”). Atas perintah dari ayahnya itu, Ishaq pun pergi untuk mencari ilmu kesaktian dari kyai tersebut dengan tujuan supaya ampuh sampai ora tedas tapak paluning pandhe (tidak mempan pukulan palu pande).
Disaat perjalananya sampai di kota Wonosobo ia dihadang oleh polisi, namanya Hasan Darda’ dan ayahnya yaitu Mbah Ahmad. Singkat cerita akhirnya mereka bertiga pergi bersama satu tujuan yaitu mencari guru kesaktian bersama-sama.
Setelah mereka sampai di daerah Limpung, Batang lalu bertanya kepada penduduk sekitar : “Nopo ten mriki wonten tiyang sakti mandraguna ?” (“Apakah di daerah sini ada seorang yang sakti mandraguna ?”). Jawab orang tersebut :”Nggih ... wonten, nanging tiyange mboten umum kalih batire. Manggene ten tengah alas gombol. Dalanipun nggih mboten saget dipun lewati, gombol sedanten, sukete katah, dalane buntu. Ingkang tepatipun dipun asmani dusun Kalisalak” (:Ya ... ada, tetapi orangnya tidak sama seperti umumnya orang-orang. Ia tinggal di tengah alas rimbun. Jalanya ya juga tidak dapat dilewati, Semak semua, jalanya buntu. Yang tepatnya di dusun Kalisalak”). Kemudian ketiga pengembara tersebut menemukan tempat yang ciri-cirinya sama dengan apa yang telah dikatakan orang tadi. Dan ternyata tempat tadi disekitar sungai.
Pada waktu itu Syaikh Rifa’i sedang membangun rumah sebagai tempat kediamanya dalam tahap memasang atap rumah. Tiba-tiba tanpa disangka dari bawah Si Ishaq tadi melompat naik ke atas atap tanpa perantara apapun. Ia dalam kondisi tidak menutup aurat, memakai celana celana diatas lutut. Singkat cerita Syaikh Rifa’i menanyai :”Sampeyan cah ngendi ?” (“Kamu anak mana ?”). jawab Ishaq :”Kula Wonosobo” (“Saya dari Wonosobo”). Selanjutnya Syaikh Rifa’i menyarankan kepada mereka bertiga :”Ning kene lemute gedi-gedi, nek nyokot langsung abuh. Awake sampeyan kudu ditutupi sing rapet ya....supaya ora dicokot lemut ndak abuh” ( “Disini nyamuknya besar-besar, kalau menggigit langsung bengkak. Badan kalian harus ditutup rapat-rapat ya ... agar tidak digigit nyamuk, nanti bengkak”). Akhirnya mereka pun mau menutup aurat badanya lantaran kebijaksanaan Syaikh Rifa’i dalam menasehati, karena maksud dari perintah Syaikh Rifa’i tersebut secara tidak langsung supaya auratnya ditutup tapi perintahnya menggunakan bahasa yang sangat halus.
Selanjutnya Ishaq dan rekan-rekanya menyampaikan maksud kedatanganya kepada Syaikh Rifa’i ingin belajar ilmu kadigdayan supaya bisa sakti mandraguna. Namun jawaban Syaikh Rifa’i :”Ning kene anane ilmu putih” (“Disini adanya ilmu putih”). Lalu mereka diperintah mengucapkan dua kalimah syahadat sak maknane kemudian taslim (hatinya mau tunduk dan menerima dengan ajaran Syaikh Rifa’i). Di pesantren tersebut mereka bertemu santri-santri yang sama berasal dari daerah Wonosobo diantaranya ialah Mbah Abdul Hamid (Mbah Hadits) , Mbah Abu Hasan, Mbah Hasan Dumejo, lan Mbah Abdul Aziz. Mereka semua nyantri di Kalisalak berguru kepada Syaikh Rifa’i tentang ilmu agama (usul, fiqih, tasawuf, syari’at, thariqat, dan haqiqat) selama kurang lebih 30 tahun.
Menurut keterangan dalam versi yang lain mengatakan bahwa pada waktu itu putranya (Mbah Ishaq) mendengar berita tentang ada seorang kyai kharismatik yang alim dan adil dan berkediaman di kawasan lereng gunung Perahu. Mbah Ishaq yang waktu itu masih berpegangan dengan ilmu hitam mencari dan memastikan keberadaan dan kebenaran kabar yang ia terima. Setelah berjumpa ternyata kyai tersebut bernama Syaikh Rifa’i yang bermukim di desa Kalisalak.
Pada saat itu Syaikh Rifai sedang membangun pondok, tiba-tiba Mbah Ishaq langsung melompat ke atap rumah Syaikh Rifa’i, mengetahui tindakan seperti itu lantas ia diminta turun oleh Syaikh Rifa’i. Lalu Mbah Ishaq ditanya :“Koe asale soko endi ?” (“Kamu berasal dari mana ?”). Jawabnya Mbah Ishaq :“Aku asal wonosobo” (“Saya berasal dari Wonosobo”). Kemudian Syaikh Rifa’i kembali bertanya :“Lha hajate koe teko kene pak apa ?” (“Lalu maksud kedatanganmu kemari mau apa ?”). Kemudian dijawab oleh Mbah Ishaq : “Hajatku tekan kene arep ngabdi mereng panjenengan” (“Kedatanganku kemari mau mengabdi kepada Anda”). Syaikh Rifa’i memahami maksud perkatannya itu, kemudian memberikan nasehat :”Nak koe arep ngambil ilmu ingsun koe kudu mbuak ilmu sing di gawa soko Wonosobo. Nak ilmune wes mancep, bedil tombak cucukan ora medas, geni neroko ora bisa ngobong” (“Jika Anda mau mengambil ilmu saya maka Anda harus menghilangkan ilmu yang dari Wonosobo. Jika ilmu dari saya sudah masuk, peluru atau tombak tidak mempan, api neraka tidak menghanguskan”). Kemudian Mbah Ishak diajari syahadat beserta maknanya dan seketika itu ilmu hitamnya hilang semua. Beliau mondok di Kalisalak selama 30 tahun.
Datangnya Syaikh Rifa’i Ke Ngadisalam, Nama Abu Manshur & Alas Pesantren
Sesampainya Mbah Ishaq pulang ke rumah, tak disangkanya ternyata sang ayah sudah tidak mengenali wajahnya, karena saking lamanya tidak berjumpa dan ditinggal putranya pergi mengembara saat masih muda sampai 30 tahun lamanya. “Sampeyan sopo?” (“Anda ini siapa ?”) tanya Mbah Ngarsan/Wioyudho. “Kula Ishaq putra jenengan” (“Saya Ishaq putramu”) jawab Mbah Ishaq. Kemudian Mbah Ishaq menceritakan panjang lebar perihal keistimewaan sosok gurunya dan apa yang ia peroleh dari gurunya.
”Bapak, jenengan leres...kula sampun luru ilmu (berguru) kalih tiyang sakti mandraguna, geni neraka mawon mboten mempan napa malih geni dunya” (“Bapak ... saya sudah berguru dengan orang kyai yang sakti mandraguna. Api neraka saja tidak mempan apalagi api dunia”). Tegese mendapat ilmu usul, fikih, taswauf, syari’at, tariqat, dan haqiqat.
Mbah Ngarsan (Mabah Wirayudho) berkata kepada putranya, “Aku pengin nimba ilmu karo gurumu (Syaikh H. Ahmad Rifa’i) tapi awakku wis rak kuat mlaku adoh, tulung sampiake karo Syaikh H. A. Rifa’i nek tindak ten ngadisalam purun mboten” (“Saya ingin menimba ilmu kepada gurumu tapi badanku sudah tidak kuat perjalanan jauh, tolong sampaikan saja kepada gurumu itu untuk datang ke Ngadisalam mau atau tidak”).
Selanjutnya Mbah Ishaq pergi lagi ke Kalisalak untuk sowan Syaikh Rifa’i. Beliau meminta kepada Syaikh Rifa’i : ”Bapak kula ajeng ngaos kalih njenengan, tapi bapak pun sepuh, njenengan kula aturi tindak ten Ngadisalam” (“Ayah saya ingin mengaji kepada panjenengan tapi ayah saya usianya sudah tua, panjenengan saya minta untuk datang ke Ngadisalam”). Syakh Rifa’i menerima tawaran Mbah Ishaq tapi dengan satu syarat :” Aku saguh sing penting aku digaweake papan ing dusun Ngadisalam, ingkang paling rungket” (“Saya mau menerima tawaranya yang penting saya dibuatkan tempat di dusun Ngadisalam yang paling rimbun”).
Singkat cerita, Mbah ishaq juga menerima syarat Syaikh Rifa’i tersebut. Kemudian ia membuatkan kediaman untuk Syaikh Rifa’i sesuai yang telah diminta. Sekarang tempat tersebut terkenal dengan sebutan alas pesantren. Setelah dibuatkan tempat tersebut Syaikh Rifa’i tindak ke Wonosobo di dusun Ngadisalam. Diperjalanan beliau didampingi oleh Mbah Hasan Dumejo dan Mbah Abdul Aziz.
Setelah Syaikh Rifa’i sampai di tanah Ngadisalam tepatnya di alas pesantren, Mbah Ngarsan, Mbah Abdul Ghoni, Mbah Ishaq, Mbah Abdul Aziz, Mbah Hasan Dumejo dll mengaji dengan Syaikh Rifa’i. Setelah Mbah Ngarsan & Mbah Abdul Ghoni diajari ilmu ushuludin, fiqi dan tasawuf. Mbah Ngarsan (Wiroyudho) kemudian diganti namanya oleh Syaikh Rifa’i menjadi “Abu Manshur”.
Selang beberapa waktu kemudian, gerakan Syaikh Rifa’i tersebut tercium oleh pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian dengan berbagai pertimbangan, Syaikh Rifa’i pindah ke daerah Kepil tepatnya di rumah Mbah Hasan Dumejo. Kemudian pindah lagi ke Karangsambo di rumah Mbah Abdul Hamid (Mbah Hadits).
Nama-Nama Dusun Di Desa Ngadisalam
Setelah Mbah Abu Manshur memberi nama desa Ngadisalam, di sebelah barat desa Ngadisalam diberi nama dusun “Sikunci” supaya hamba yang selamat kemudian dikunci dan aman dari kemaksiatan. Kemudian utara desa Ngadisalam diberi nama dusun “Sidadungan” yang tujuanya didadung (diikat) supaya tidak lepas dalam mengamalkan ilmu dari Syaikh Rifa’i, juga supaya selamat dari kemaksiatan. Sedangkan di sebelah baratnya lagi diberi nama dusun “Candhi” karena dilokasi tersebut domisili para ulama’ diantaranya Mbah Ishaq. Selanjutnya di selatan Ngadisalam diberi nama “Patunan” tujuanya adalah agar orang-orang yang melakukan kemaksiatan/angkara murka diwatun (dibersihkan) dari bumi tersebut. Adapun waktu penamaan dusun Patunan yaitu setelah Syaikh Rifa’i berdakwah/mulang di alas pesantren. Kemudian selatannya lagi diberi nama “Melarsari” supaya masyarakat yang belajar agama khususnya mendalami kitab karya Syaikh Rifa’i (kitab tarajummah) itu melar (merata) sampai anak cucunya. Di sebelah kamung Melarsari diberi nama “Sabrang” dengan tujuan bahwa penduduk tersebut harus berani nyabrang (melintas) dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Dan terakhir, di sebelahnya lagi diberi nama “Mranggen” tujuanya ialah supaya berani ngayahi (memerangi/mencegah) kemaksiatan atau angkara murka.
Peninggalan
Adapun penggialan yang ada saat ini adalah petilasan kediaman Syaikh Abu Manshur yang kini sudah menjadi rumah salah satu penduduk Ngadisalam.
Gambar 4a : Petilasan kediaman Syaikh Abu Masnshur (sekarang rumah warga).
Daftar Narasumber
1.Bapak Ky. Yaskur, Ngadisalam.
2.Sejarah Babat Dusun Ngadisalam, Oleh Ust. Ahmad Soleh Ngadisalam.
Penelusur Sejarah
Tim Al-Ishlah '1440 Ponpes Tanbiihul Ghoofiliin Sambek
0 Comments