Menjadi Prajurit Kerajaan Aceh
Syaikh Abdul Hadi yang oleh dzuriyahnya kulino dengan julukan “Tuan Haji” merupakan seorang ulama’ asal Aceh,
Pada masa itu dimana belum ada nama Indonesia karena bumi Nusantara masih dalam cengkeraman kolonialisme Belanda, tahun 1825 M terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Pangeran Diponegoro melawan penjajah (yang dikenel dengan julukan perang jawa). Dikirimlah Abdul Hadi oleh Kerajaan Aceh untuk membantu berperang, dan mendapat tugas untuk terjun ke wilayah Wonosobo. Tepatnya di Desa Kliwonan, Karangluhur, Kertek, Wonosobo.
Setelah tugas perang usai, beliau mendengar kabar bahwasanya ada seorang kyai yang sakti dan juga ‘alim adil. Kyai tersebut bertempat tinggal di sebelah utara Gunung Perahu dan mempunyai pondokan di Desa Kalisalak, Kec. Limpung, Kab. Batang (pada masa itu masih berkabupaten Pekalongan) yakni sosok Syaikh Ahmad Rifa’i. Kemudian Abdul Hadi menelusuri jejak kabar yang ia terima. Akhirnya setelah bertemu dengan Syaikh Ahmad Rifa’i, ia merguru selama kurang lebih 10 tahun.
Mukim Dan Berdakwah Di Dalangan
Setelah 10 tahun mengenyam pendidikan di Kalisalak dan dirasa sudah matang dan siap terjun berdakwah, akhirnya ia pulang ke Wonosobo dan bermukim di Dalangan (dahulu jarak antara Dalangan ke Kliwonan kurang lebih 1 km). Pada waktu itu kondisi Desa Dalangan masih berupa hutan belantara (alas). Syaikh Abdul Hadi lah yang pertama kali menempati desa tersebut (bupak sanganing desa, Red : Jawa).
Dengan bekal ala kadarnya, sekedar mencukupi kebutuhan agar kehidupan terasa mapan dan stabil, ia membangun rumah (yang sekarang menjadi masjid Dalangan) dan surau (masyarakat Dalangan dahulu sering menyebutnya Kebun Langgar. Terletak di depan rumah Kh. Jasroni Ahmad sekarang) sebagai fasilitas utama beribadah dan mulang ajaran-ajaran gurunya.
Masyarakat mulai banyak yang tertarik dan minat ngaji dengan Syaikh Abdul Hadi, karena ajaran islam dengan metode kitab tarajumah, berbahasa jawa dan berbentuk sya’ir-sya’ir sangat cocok dengan budaya mereka sebagai orang jawa. Ia pun mulai membangun pesantren yaitu sekitar tahun 1835 M. Kemudian pesantren diteruskan perjuanganya oleh cucunya yaitu Kyai Sajari yang didampingi oleh putranya yaitu beliau Kyai Markham.
Generasi Penerus
| Tak asing sebagai seorang ulama’ dengan metode dakwahnya dan ketelatenanya dalam membimbing dan mengajarkan islam pun akhirnya dapat mencetak murid-murid sebagai generasi penerus Sang Guru supaya ajaran-ajaranya tetap hidup dan tersebar. Dan hampir semua murid Syekh Abdul Hadi menjadi orang besar pada masanya.
· Seperti dari daerah Temanggung yaitu Pak Kyai Solikhin, Pak Kyai Imbuh Jumali dll.
· Sebagian para muridnya yang pernah mengikuti kajian kasepuhan beliau yaitu setiap hari Ahad Pahing diataranya ialah :
- Mbah Kyai Haji Mahfud & Mbah Kyai Muzali dari Mbugangan.
- Mbah kyai Muhammad Yahmin dari Sambek.
- Mbah kyai Yusuf, Mbah Kyai Sufyani, Mbah Kyai Rojian dari Mlipak.
- Mbah Kyai Dullah Anwar dari Pagude.
- Mbah Zaini dari Mbomerto. Dll.
Karya-Karyanya
| Syaikh Abdul Hadi selain menjadi pewaris mendakwahkan ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i ia juga dikenal sebagai pewaris Syaikh Ahmad Rifa’i dalam bidang kemahiranya dalam mengolah dan menciptakan sya’ir-syair/tembang jawa yang berisi tentang pegangan hidup orang jawa. Diantara karyanya yang dapat dinikmati sampai sekarang ialah :
- Sya’ir Zaman Wus Akhir.
- Sya’ir Ayo-ayo Kabeh Kancaku.
- Sya’ir Nyoto wajib Wong Ngibadat.
- Dll.
Karomah
| Diantara karomah beliau, setiap malam Jum’at Kliwon sering kali para warga Dalangan menjumpai seberkas cahaya yang terang benderang di atas makam Syekh Abdul Hadi. Dan yang dialami oleh istri K. Jasroni Ahmad yaitu setiap kali ia berziarah beliau melihat seperti ada Macan/Harimau yang sedang menjaga makam Syekh Abdul Hadi.
Sumber : Bpk. Kh. Jasroni Ahmad, Dalangan.
Penelusur sejarah : Tim Al-Ishlah ‘1440. PPTG_Sambek.
0 Comments